KH Rahmat Abdullah:
Memang seperti itulah dakwah. dakwah adalah cinta. dan cinta akan
meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.
bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. tentang umat yg kau cintai.
Lagi-lagi
memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang
belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di tubuh rentamu. Tubuh
yg luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa
berlari.
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut
Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena
beban berat dari ayat yg diturunkan Allah.
Sebagaimana
tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum
muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yg bisa
diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak.
Sulit
membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar
itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah kemudian
meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang
tenang.
Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh
Umar bin Khathab juga terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak.
Umar yang perkasa pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang
heroik? Akhirnya diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris
sepanjang sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang
sedang bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.
Dakwah
bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya
tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari
godaan kefuturan.
Tidak… Justru kelelahan. Justru
rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari.
Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang
jauh lebih “tragis”.
Justru karena rasa sakit itu
selalu mereka rasakan, selalu menemani… justru karena rasa sakit itu
selalu mengintai ke mana pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi.
Kalau iman dan godaan rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah
satunya harus mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah
untuk mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu
pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. Hingga
“hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda dibandingkan jihad
yang begitu cantik.
Begitupun Umar. Saat Rasulullah
wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar wafat, ia tidak lagi mengamuk.
Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. Tapi saking seringnya
ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi kewajaran. Dan menjadi semacam
tonik bagi iman..
Karena itu kamu tahu. Pejuang yg
heboh ria memamer-mamerkan amalnya adalah anak kemarin sore. Yang takjub
pada rasa sakit dan pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang
disakiti di jalan Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi
karya-karya besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya
hal itu mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka
justru jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah,
berilah dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang…
“
Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh
lantak. Jasadnya dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan
cinta. Mengajak kita untuk terus berlari.
miqdad.
we know Allah would never give us something we can't handle 23:62